Untuk menjadi pemimpin Negara, Presiden atau Wapres yang dipilih langsung oleh rakyatnya, seseorang harus memiliki kekuatan politik dan logistic. Bisa mengandalkan salah satunya, ideal kalau memiliki dua-duanya.
Mungkin ada yang bertanya, kenapa SBY berani menggandeng Budiono, sosok yang tidak populer dan tak punya basis massa, tidak punya kekuatan logistic yang cukup? Karena SBY di tahun 2009 lalu memiliki dua-duanya. Dia memimpin partai terbesar di Indonesia, Presiden satu periode dengan logistic yang sangat melimpah. Jadi meskipun lagu-lagunya tak laku, dia tak akan merasa rugi. Biaya rekaman kan receh?
Kondisinya berbeda dengan tahun 2004 dimana SBY belum memiliki kekuatan politik dan logistic yang besar. Dia harus menggandeng seorang Jusuf Kalla sebagai wakilnya. JK adalah orang yang punya kekuatan politik dan logistic. Bahkan sampai sekarang JK masih disegani oleh para kader dan petinggi Golkar.
Kesalahan JK adalah dia tidak berani maju sebagai Capres di 2004. Sehingga saat maju sebagai Capres di 2009, SBY sudah punya modal politik dan logistic yang sangat besar. 5 tahun memimpin Indonesia, jenderal, pemimpin partai besar, mustahil bisa dikalahkan oleh kekuatan di luar pemerintahan. Terlebih pasangannya, Wiranto tidak punya dua modal penting tadi.
Begitu juga dengan yang terjadi pada Jokowi JK dan Prabowo Hatta di 2014. Dua pasang calon ini memiliki modal politik dan logistic yang sangat besar. Prabowo dan Hatta memimpin partai. Adik Prabowo punya logistik, begitu juga dengan Hatta Rajasa.
Sementara Jokowi dan JK, sekalipun bukan pemimpin partai, tapi keduanya memiliki modal politik yang sangat kuat. Jokowi adalah orang paling populer, bahkan lebih populer dari Presiden Indonesia saat itu; SBY. Jokowi selalu menarik dibicarakan oleh semua kalangan. Sosoknya yang ndeso justru menjadi daya pikat sendiri. Seperti memberi harapan atau mimpi, bahwa semua orang di negeri ini punya hak yang sama untuk memimpin negeri. Pemimpin Negara tidak harus mantan jenderal atau anak Jenderal. Tidak harus dari kalangan konglomerat.
Dan JK, seperti yang saya jelaskan sebelumnya, dia memiliki kekuatan politik dan logistic yang cukup. Inilah kenapa JK lebih dipilih dibandingkan calon lain seperti Abraham Samad yang saat itu juga sama populernya, atau Rymizard yang berasal dari kalangan militer.
Andai pasangan Jokowi saat itu bukan JK, saya pikir sulit untuk menang melawan pasangan Prabowo Hatta yang dua-duanya memiliki modal politik dan logistik yang sama besarnya.
Selanjutnya kita beralih pada Pilkada DKI, Anies Sandi, Agus Silvy dan Ahok Djarot. Terlepas dari serangkaian demo penistaan agama, harus diakui bahwa Anies memiliki kekuatan politik yang kuat, mantan menteri, punya jaringan guru. Sementara Sandi adalah pengusaha nasional yang memiliki logistik besar. Sehingga hanya Sandiaga yang sejak awal begitu yakin bisa dicalonkan. Sementara yang lain seperti Yusril, Lulung, Andiaksa dll, hanya cukup di tahap bakal calon. Karena mereka tidak punya dua modal penting; politik dan logistik.
Sementara pasangan Ahok Djarot, keduanya tak modal logistik yang cukup. Ahok hanya kuat di politik, sekalipun penuh intrik. Sementara Djarot? Namanya nyaris tak terdengar, tidak dibicarakan. Berbanding terbalik dengan Anies dan Sandiaga yang sama-sama dibicarakan, sama-sama berhasil menuai kontroversi atau rencana absurdnya.
Dan yang terakhir Agus Silvy punya problem yang sama. Yang menarik perhatian hanyalah Agus. Sehingga bisa dibilang anak SBY ini punya kekuatan politik dan logistik yang besar. Sementara Silvy yang merupakan PNS berpengalaman, nyatanya gagal meraih suara dari kalangannya.
Yang menjadikan Agus berada di posisi buncit, karena kekuatan politik dan daya tariknya masih jauh di bawah Ahok dan Anies. Sehingga ide-ide gila seperti rumah mengapung pun tidak dapat diterima. Sebab hanya itu yang berhasil dibicarakan publik, sementara sisanya tidak jelas mau apa?
Jelang 2019
Sejatinya, pasangan Capres Cawapres 2019 nanti sudah bisa dirasakan dari sekarang. sebab tahun depan sudah masuk dalam tahap finalisasi.
Awalnya saya mengira Anies yang akan mengikuti jejak Jokowi di Jakarta 2012 lalu. Setelah menang, akan terus dibicarakan dan memiliki daya tarik kuat. Namun nyatanya ada sebuah skenario politik yang berhasil menutupi segala aktifitas yang dilakukan Anies. Hal ini tidak lepas dari berlanjutnya permainan sentimen agama dan PKI yang terus ditabuh oleh alumni yang tidak pernah belajar atau duduk sebangku di sekolah formal; 212.
Adalah Jenderal Gatot Nurmantyo yang berhasil muncul ke permukaan dan meraih simpati para alumni 212. Gatot juga kemudian diidolakan oleh kelompok ormas Islam yang sebenarnya tidak mencerminkan nilai-nilai Islam. Selain panglima TNI, Gatot juga dianggap panglima Islam, sekalipun kita juga tidak terlalu tau tentang pengetahuan Gatot atas ajaran agamanya.
Pernyataan Gatot yang “emang gue pikirin!” serta mewajibkan anak buahnya menonton film PKI dan saat ditanya wartawan jawabannya “itu perintah saya, mau apa?” adalah dua pernyataan yang sebenarnya kurang layak dikatakan oleh seorang Panglima TNI.
Tapi apa mau dikata, Gatot nyatanya berhasil menarik simpati dari sebagian besar para pendukung Prabowo yang tidak suka dengan Jokowi. Mereka yang sejak 2014 lalu bermimpi akan terjadi kudeta, sekarang seperti ditidurkan lagi untuk terus bermimpi. Gatot jelas lebih memungkinkan untuk melakukan kudeta dibandingkan Prabowo. Sehingga ormas intoleran seperti HTI kini lebih mengelu-elukan Gatot dibanding Prabowo.
Gatot dan Prabowo sama-sama memiliki latar belakang militer. Sehingga yang mengidolakannya hampir pasti adalah orang-orang yang sama. Kelemahan Gatot adalah tidak memiliki partai politik seperti halnya Prabowo, juga tidak punya logistik sebesar Prabowo. Tetapi jika pilihannya adalah Gatot atau Prabowo, maka jelas Gatot yang akan menang. Sebab Prabowo adalah produk lama yang sudah terlalu sering gagal. Usang. Sementara Gatot adalah produk baru. Untuk kelompok orang yang memiliki ketertarikan terhadap pemimpin militer, jelas Gatot lebih punya daya tarik.
Bisa dibilang, meski kecil, Gatot sudah punya modal politik yang cukup untuk diajukan sebagai Capres maupun Cawapres. Pertanyaannya kemudian, dari partai mana?
Idealnya Gatot bisa digandeng oleh Presiden Jokowi, sebagai pengganti JK. Sehingga para pendukung Prabowo bisa beralih mendukung Jokowi karena faktor Gatot. Dan jika ini yang terjadi, maka semua kontroversi yang dibuat Gatot selama ini hanyalah drama yang sangat merugikan Prabowo. Pasangan ini punya modal besar di politik, tapi nol logistik.
Gatot juga bisa menjadi Capres dan Agus Yudhoyono sebagai Cawapres. Agus punya basis massa pendukung ayahnya, sementara Gatot punya basis massa pendukung Prabowo. Keduanya sama-sama punya daya tarik dari kalangan ormas keagamaan. Sehingga kalau pasangan ini terbentuk, minimal mereka akan mengungguli pasangan Prabowo. Sebab secara kekuatan politik Agus Gatot lebih unggul, sementara logistik juga sama besarnya.
Meskipun sama-sama dari kalangan militer, namun basis massa pendukung SBY lebih random kepada ormas dan kelompok pengajian. Sementara Gatot fokus pada basis massa yang mengidolakan militer. Pasangan Gatot Agus bahkan bisa mengalahkan Jokowi, jika PDIP dan partai pengusungnya salah dalam memilih Cawapres.
Atau skenario SBY JK 2004 dapat terulang jika Gatot menggandeng Setya Novanto. Gatot punya pendukung dari kalangan yang suka militer, Setya Novanto mengendalikan Golkar dan punya posisi politik yang kuat di semua partai. Papa Novanto punya logistik yang besar, juga selalu menarik dibicarakan.
Tapi skenario paling buruknya adalah jika Prabowo menggandeng Gatot sebagai Cawapres. Keduanya akan memiliki basis massa pendukung yang sama, sehingga siapapun Cawapres Jokowi nanti tidak akan jadi masalah. Sebab kubu lawan hanya mempertebal ‘iman’ dari kalangan mereka sendiri.
Terakhir, jawaban dari pertanyaan apakah Gatot benar berambisi untuk berkuasa atau hanya memainkan peran untuk menjadi pengendali kelompok Islam garis keras, semuanya dapat kita lihat pada 2019 nanti. Jika Gatot berpasangan dengan Jokowi atau tidak maju sebagai Capres atau Cawapres, maka sang panglima itu memang sedang mengambil peran dan membantu beban Jokowi. Tapi jika sebaliknya, mungkin Gatot memang mempersiapkan diri menjadi Presiden.
Tetapi bisa juga Gatot hanya ‘ditugaskan’ mengendalikan kelompok radikal dan intoleran, namun karena terlalu nyaman dan percaya diri, nantinya berubah menjadi penantang Jokowi. Karena pada akhirnya politik itu cair, kita tidak bisa benar-benar memprediksi sebelum hasil final. Begitulah kura-kura.
0 Response to "Gatot Nurmantyo Berambisi Jadi Presiden atau Sedang Membantu Jokowi?"
Posting Komentar