seword.com- Pada program Rosi Kompas TV pada 26 Oktober 2017 lalu dengan tema ‘Siapa Lawan Jokowi?’, Fadli Zon hadir sebagai narasumber bersama dengan Mangara Sirait. Program Rosi diawali dengan pemaparan hasil beberapa survei dan analisis terhadap hasil itu.
Menanggapi hasil survei ini, di mana Jokowi mendapat tingkat keterpilihan rata-rata di atas 30%, Fadli Zon hadir sebagai pihak yang kontra terhadap Jokowi. Ada beberapa hal yang perlu diluruskan dari pernyataan-pernyataan Fadli Zon, politisi Gerindra. Silakan lihat videonya di https://www.youtube.com/watch?v=vEjwcauPrnc.
Mengenai hasil survei: tidak ada hubungan langsung antara kepuasan yang tinggi dengan elektabilitasnya, contohnya DKI
Ups! Ini contohnya DKI bahwa tingkat kepuasan terhadap kepemimpinan Ahok-Djarot yang mencapai rata-rata di atas 70% tidak berbanding lurus dengan tingkat elektabilitasnya. Artinya tingkat kepuasan terhadap Ahok tidak akan mempengaruhi keinginan pemilih memilih Ahok. Ya, DKI itu memang menjungkalkan logika umum bahwa ketika saya puas dengan kepemimpinan seseorang maka keinginan saya memilihnya akan semakin meyakinkan.
Tetapi jangan lupa, Pilkada DKI penuh dengan faktor X. Faktor X pertama adalah demo berjilid menyerang Ahok dengan dalil menista agama mayoritas warga DKI, Islam. Faktor X kedua adalah kampanye mayat tidak disolatkan. Dan kedua faktor X adalah senjata lawan Ahok, yang adalah double minoritas. Jadi tidak pantas dijadikan contoh.
Lebih dari 50% masyarakat Indonesia menginginkan pemimpin baru
Memang masuk akal bahwa jika elektabilitas Jokowi sebagai petahana masih berada di bawah 50% secara otomatis yang lain menginginkan pemimpin baru. Secara hitungan matematis benar. Tetapi bila dibandingkan dengan elektabilitas SBY ketika masih petahana yang berada di bawah 30%, toh juga menang. Jadi tidak selalu dan bahkan mungkin kelemahan survei bahwa tingkat elektabilitas akan menjadi jaminan untuk meraih kekuasaan.
Saya kira Fadli tidak salah dalam mengeluarkan pernyataan ini sebagai lawan politik Jokowi. Ini justru bagus bagi partai-partai pendukung Jokowi sebagai sarana kritik. Pertanyaan besarnya adalah kenapa masyarakat puas tetapi tidak memilih? Beribu alasan bisa kita utarakan sekaligus beribu cara dapat kita rencanakan untuk mengatasinya.
Ada yang salah: pertumbuhan ekonomi makin nyungsep, hidup makin susah, akhirnya disiram ‘susu basi’
Menurut pandangan Fadli, pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang makin nyungsep(merosot) yang (pertama) dikonfirmasi dengan target-target yang tidak tercapai yaitu 7% tingkat pertumbuhan ekonomi, (kedua) dikonfirmasi juga banyaknya pelaku ekonomi mengalami kebangkrutan, berarti (ketiga) daya beli masyarakat berkurang karena hidup semakin susah. Ini perlu dijelaskan.
Pertama, target pertumbuhan ekonomi tidak tercapai. Ya, tetapi ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan ketika pertumbuhan global justru stagnan atau menurun. Itu artinya, pertumbuhan ekonomi yang tidak sampai 7% bukan karena kegagalan pemerintah, melainkan ketidakmungkinan. Ini seperti berlayar di tengah amukan lautan dengan perahu kecil dan memaksa kecepatan maksimal seperti saat tidak ada amukan lautan, ya akan tenggelam. Maka pada situasi ekonomi global yang tidak menentu, Indonesia bisa tetap bertumbuh dari 3-an% sampai 5-an%, adalah prestasi yang sangat luar biasa. Dalam situasi ini prestasi minimal pemerintah adalah tidak menurun tajam atau tidak menurun, bukan bertumbuh. Hebatnya pemerintahan Jokowi, ekonomi bisa bertumbuh, walaupun lambat bahkan menempati urutan nomor 3 di dunia.
Tetapi yang namanya FZ tidak mungkin mengalah begitu saja. Walaupun disajikan data valid dan nyata, tetap saja FZ akan mengakui pertumbuhan ekonomi Indonesia itu meroket. Dia membantah semua itu pengurutan yang salah besar. Padahal yang mengeluarkan berita itu adalah BI sendiri. Pimpinan DPR macam apa yang meragukan penilaian BI terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia? Pimpinan DPR gila. FZ tidak gila loh yah, malu masak pimpinan DPR-nya gila.
Kedua, banyak minimarket dan mall tutup. Kebangkrutan pengusaha minimarket dan mal bukan lagi menjadi tanda bahwa daya beli masyarakat lemah, melainkan karena ketidak-siapan pengusaha menghadapi perubahan zaman dan teknologi yang begitu pesat yang memengaruhi dunia usaha. Gaya hidup masyarakat sudah berjubah. Masyarakat sekarang sudah lebih menggunakan cara-cara yang cepat dan tepat dalam berbelanja. Terjadi perubahan dari gaya belanja konvensional ke gaya belanja online.
Akhirnya daya beli masyarakat secara konvensional dapat dipastikan menurun. Tetapi daya beli masyarakat secara online semakin meningkat. Untuk itulah kenapa pendapatan jasa kurir dan persewaan gudang semakin meningkat. Sebab penjual tidak lagi harus membangun mall besar-besar, melainkan berjualan melalui website secara gratis, tidak butuh banyak modal dan tenaga. Bagi pembeli, belanja dapat dilakukan di mana pun. Barang yang ada di AS, dengan adanya saluran internet, dapat di beli dari puncak perbukitan Pulau Samosir. Maka yang tidak inovatif akan semakin gulung tikar di era teknologi serba cepat sekarang ini.
Ketiga, hidup semakin susah. Memang inilah yang selalu digadang-gadang kubu Fadli dengan Gerindranya. Klaim sepihak ini sering digunakan untuk menyerang Jokowi dengan dalih, “Bukti nyata di lapangan; saya mendengar keluhan masyarakat bahwa hidup sekarang semakin sulit; dll.” Mungkin Fadli bisa berkoar di media sosial soal itu, bisa mengungkapkan pernyataan kepada media, tetapi tidak kali ini di Kompas TV.
Maka ketika Fadli bertanya langsung ke penonton apakah hidup semakin susah atau mudah, penonton menjawab ‘mudah’. Ini adalah ‘susu basi' yang saya sebut disiramkan ke muka Fadli. Pasti rasanya mau muntah. Malunya itu sampai mau bunuh diri. Kecuali dia tanyakan itu di kumpulan datarians, cabulers, dan pentol-korekers, maka jawabannya pasti ‘susah’ sambil hore-hore, karena memang mereka itu adalah bala tantara Pabowo.
Kali ini dia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengalihkan pembicaraan atau ngeles minta disurvei. Kelihatan bahwa kebohongan Fadli selama ini dibukan ke masyarakat luas. Memang penonton segelintir itu tidak mewakili seluruh Indonesia. Tetapi kelompok itu tetaplah tidak bisa diabaikan begitu saja baik FZ maupun pemerintah.
Kesimpulan
Apa pun yang baik dari pemerintah, di mata FZ, semua itu tidak benar. Yang benar itu Prabowo, calon presiden abadi, yang katanya mau ‘revolusi putih’, yang sekarang sedang menyusun strategi mengeruk kekayaan Jakarta untuk modal kampanye 2019 nanti.
Tetapi kita ambil saja hikmahnya dari semua ini. Ternyata masih ada dan saya yakin masih banyak masyarakat yang percaya bahwa pemerintahan Jokowi akan membawa Indonesia ini semakin baik. Dan menjadi masukan kepada pemerintah bahwa masih ada dan saya yakin juga masih banyak PR yang harus dikerjakan untuk membawa Indonesia ini lebih baik. Serta sebagai antisipasi pada Pemilu 2019 nanti.
Salam dari rakyat jelata
0 Response to "Muka Fadli Zon Disiram Rakyat dengan ‘Susu Basi’"
Posting Komentar