'PR' Jokowi-JK, membenahi hubungan negara dengan agama


Jokowi salat ied di Masjid Istiqlal. ©2017 merdeka.com/imam buhori



Merdeka.com - Tepat 20 Oktober 2017, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sudah tiga tahun memimpin Indonesia. Banyak kebijakan dibuat. Hingga menimbulkan pro dan kontra. Masalah politik dan demokrasi selalu menjadi sorotan menarik.

Pelbagai gejolak terus menerpa. Kebijakan terus dikritik. Walau tak sedikit merek mendapat banyak dukungan dalam menentukan kebijakan.

Mengutip pada laporan 3 tahun pemerintahan Jokowi–JK, indeks demokrasi turun. Tahun 2014 mereka mencapai 73,04 persen. Setahun kemudian turun 72,82 persen. Catat terakhir, angka itu semakin merosot. Tahun 2016, indek demokrasi para era Jokowi-JK menjadi 70,09 persen.

Banyak faktor menyebabkan penurunan tersebut. Termasuk terkait langkah Jokowi-JK mengeluarkan Perppu Ormas. Kebijakan itu lantas menuai banyak polemik. Hingga dianggap sebagai kebijakan otoriter.

Banyak lembaga survei telah melakukan riset. Hasilnya tingkat kepuasan masyarakat Indonesia dianggap meningkat. Namun keadaan ekonomi mereka tidak berubah dibandingkan pemerintahan sebelumnya.

Wartawan merdeka.com, Rendi Perdana bertemu dengan Pengamat Politik dari Centre for Strategic and International (CSIS) Indonesia, Phillips J Vermonte. Membahas masalah politik dan demokrasi era Jokowi-JK. Berikut kutipan wawancara kami dengan Phillips di Kantor CSIS, Jalan Tanah Abang 3, Jakarta Pusat, Rabu (18/10) lalu.

Pemerintahan Jokowi–JK sudah 3 tahun, bagaimana pandangan Anda dari sisi politik dan demokrasi selama ini?

Berdasarkan hasil survei CSIS yang sudah kita sebar ke masyarakat terdapat beberapa kesimpulan tentang pemerintahan Jokowi – JK selama ini. Pertama, tingkat kepercayaan (trust) masyarakat tinggi terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Kedua, tingkat kepuasan masyarakat terhadap performance pemerintahan Jokowi di berbagai bidang. Terutama yang selama ini kita lihat di bidang ekonomi, hukum, dan maritim. Jadi apresiasi masyarakat terhadap Pemerintahan Presiden saat ini sangat tinggi, jika dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya yang kita (CSIS) lakukan tiga tahun lalu, sangat berbeda hasilnya.

Salah satu pertanyaan dalam survei yang dilakukan CSIS adalah, bagaimana pandangan masyarakat terhadap situasi ekonomi pada masa pemerintahan Jokowi–JK dibandingkan dengan situasi ekonomi keluarga mereka lima tahun sebelumnya. Mayoritas dari pertanyaan itu, muncul dua jawaban, yaitu keadaan ekonomi yang membaik dan tetap atau tidak berubah. Dalam hasil survei itu juga kita menemukan bahwa mayoritas jawabannya adalah situasi ekonomi keluarga mereka saat ini dibanding lima tahun sebelumnya adalah tetap alias tidak berubah. Namun, keadaan mereka secara keseluruhan berubah dibanding lima tahun sebelmnya.

Banyak juga masyarakat ketika ditanya bagaimana situasi pembangunan Indonesia saat ini dibandingkan dengan periode sebelumnya pada lima tahun yang lalu. Mereka menjawab ada perubahan yang tinggi sekali, ada 80 persen lebih yang menganggap adanya pembangunan ekonomi menjadi lebih baik. Ini adalah buah dari apa yang dilihat masyarakat terkait pembangunan infrastruktur oleh Pak Jokowi, secara langsung maupun tidak langsung masyarakat dapat merasakan dampak pembangunan infrastruktur tersebut.

Kesimpulan saya, masyarakat relatif menganggap situasi ekonomi tidak berubah dibandingkan periode sebelumnya, tapi masyarakat melihat ada pembangunan. Kalau pembangunan infrastruktur itu kan jangka panjang, dampaknya tidak akan langsung dirasakan oleh ekonomi setiap orang masing-masing. Itu satu, artinya masyarakat percaya bahwa pemerintahnya sedang bekerja. Dan loyalitas pemerintahan Jokowi-JK selama tiga tahun belakangan memang terlihat tidak berubah, mereka mendapat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat.

Banyak kegaduhan selama ini dianggap mengganggu stabilitas politik, menurut Anda bagaimana kepemimpinan Jokowi-JK?

Mungkin kita harus ingat bahwa Pak Jokowi dengan satu fakta yang kita semua tahu, dia bukan ketua partai. Dia dipilih oleh masyarakat karena dipercaya sebagai calon presiden. Dia bukan ketua partai, sementara proses-proses politik dia sampai hari ini itu lewat proses partai. Bahkan untuk proses pencalonan presiden harus melalui partai. Jadi tentu ada waktu yang diperlukan dari Pak Jokowi untuk kekuasannya, karena secara konstitusional Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi di Republik Indonesia dalam mengatasi partai-partai di bidang eksekutif.

Tapi kan tentu situasi politiknya dia harus menyesuaikan diri sebagai presiden yang bukan berasal dari ketua partai. Kalau kita lihat sekuennya bulan November tahun lalu, secara formal kekuasaan sudah mengonsolidasi. Misalnya, sebelum November tahun lalu Partai Golkar dan PAN yang tadinya berada di oposisi mengumumkan bahwa dia masuk koalisi Jokowi. Jadi artinya, Jokowi didukung oleh 60 persen, secara jelas kedua partai yang tadinya berada di oposisi berubah haluan mendukung Jokowi. Jadi harusnya dari sisi perspektif itu harusnya cukup solid.

Kemudian yang kedua, Pak Jokowi semakin bisa mengelola kekuasaan dan menunjukkan bahwa dia tidak mudah tunduk terhadap tekanan. Misalnya, Pak Jokowi menetapkan Tito Karnavian sebagai Kapolri, kita tahu dulu kontroversinya bagaimana. Tapi Pak Jokowi secara tegas memutuskan bahwa Tito sebagai Kapolri, padahal masih ada jenderal di atasnya Tito, namun Jokowi berani memutuskan untuk menjadikan beliau sebagai Kapolri.

Yang ketiga, kita lihat sebelum November tahun lalu Pak Presiden melakukan reshuffle terhadap kabinet kerjanya. Dalam keputusan reshuffle yang terakhir itu Jokowi sangat independen jika dibandingkan reshuffle sebelumnya. Jika dalam reshuffle sebelumnya dia dipengaruhi kuat oleh Partai untuk mengangkat orang A/B/C lalu dikeluarkan dan diganti sebagai menterinya. Dari sisi formal politik Jokowi relatif sudah mengonsolidasi masalah itu.

Selanjutnya, pada November tahun lalu juga ada aksi demonstrasi besar-besaran di Jakarta, disusul dengan aksi di bulan Desember. Itu, menurut saya yang perlu digaris bawahi adalah tantangan politiknya datang bukan dari aktor formal politik, tentu masyarakat Indonesia sangat mengkhawatirkan hal itu. Dalam artian, 'wah apa bisa Pak Jokowi melawan politik Oligarkis?' Ternyata dia bisa, sampai menyelesaikan sendiri hingga turun ke jalan dalam aksi November itu. Sudah jelas dalam aksi demokrasi pada bulan November dan Desember itu tantangannya beda. Ada masif demonstrasi di jalan, dan lain-lain yang tentu membutuhkan waktu lain lagi bagi Pak Jokowi untuk menyelesaikan permasalahan itu.

Tapi menurut saya yang sekarang menjadi PR (pekerjaan rumah) adalah politik yang berada di luar gedung parlemen ini. Terkait dengan kasus lama Indonesia, sejak Republik Indonesia ini berdiri yaitu bagaimana hubungan negara dengan agama. Balik lagi seperti itu. Cuma masalahnya saat ini beda, namun temanya tetap sama. Menurut saya, ini perlu waktu yang lain lagi untuk diselesaikan oleh seorang Presiden.

Dalam data pemerintah, indeks demokrasi indonesia mengalami penurunan. Menurut Anda faktor apa saja yang memengaruhi penurunan ini?

Indeks demokrasinya itu kan macam-macam, ada soal partai, institusionalisasi lembaga, dan lain-lain. Saat ini banyak orang yang mengatasnamakan demokrasi padahal dia sendiri anti dengan sistem demokratisasi. Kita tahu belakangan ini muncul masalah pernyataan sebuah lembaga tentang demokrasi yang sudah jelas bertentangan dengan sistem demokrasi di Indonesia.

Ironinya, kita juga membiarkan atau membolehkan kelompok yang mempunyai aktivitas anti demokrasi ini berkembang di Indonesia. Sudah jelas, ideologi kita pancasila, tidak bisa diganti dengan yang lain. Masalahnya, ada satu kasus di mana suatu kelompok dengan tegas secara terbuka mereka menyebut bahwa anti demokrasi yang dianut oleh Indonesia tapi mereka dahulu dibiarkan. Nah tentu di sini mulai memunculkan perdebatan, sikap orang bagaimana. Boleh gak kita bersikap demokratis terhadap orang yang anti demokrasi.

Apakah terkait adanya kebijakan Perppu Ormas?

Nah itu yang saya maksud. Makanya belum lama ini masyarakat Indonesia terbelah. Teman-Teman LSM juga banyak yang mengkritisi Perppu Ormas yang belum lama ini diterbitkan Pemerintahan Jokowi, bukan berarti mereka mendukung HTI tetapi lebih pada apakah nanti Perppu yang diganti menjadi Undang-undang ormas yang baru ada jaminan enggak untuk digunakan untuk fasilitas yang lain. Ini kan yang dari dulu sampai sekarang menjadi dilema demokrasi ya begitu. Kebijakan pemerintahnya saja yang berbeda-beda seperti itu.

Kalau menurut saya, persoalan kita hari ini karena pembiaran yang tidak demokratis ini. Sehingga persoalannya menumpuk sampai pada satu titik di mana pemerintahan yang selanjutnya yang akan mengatasi permasalahan tersebut. Karena dari awal dulu persoalannya belum diselesaikan, maka diturunkan ke pemerintahan selanjutnya. Tapi kita juga paham, karena konteks demokratisasi maka susah juga untuk menyelesaikan soal itu.

Indonesia dianggap demokrasinya turun karena misalnya prinsip demokrasi universalnya adalah tidak boleh hak berserikat orang berkumpul itu harus dijamin. Mau siapa pun dia, jadi ketika pemerintah, tentu dengan pertimbangan politik mengeluarkan sebuah Perppu misalnya Perppu Ormas untuk mengurangi organisasi bermasalah, akan dibaca sebagai penurunan kualitas demokrasi.



Menurut pemerintah dari data lembaga riset Freedom House menunjukkan angka hak berpolitik 2/7. Dan kebebasan sipil 4/7. Artinya dalam hal ini hasil Jokowi–JK masih buruk?

Freedom House itu kan merekam episode-episode tertentu jadi wajar saja, kalau ada episode di mana Indonesia dianggap demokrasinya turun karena misalnya prinsip demokrasi universalnya adalah tidak boleh hak berserikat orang berkumpul itu harus dijamin. Mau siapa pun dia, jadi ketika pemerintah, tentu dengan pertimbangan politik mengeluarkan sebuah Perppu misalnya Perppu Ormas untuk mengurangi organisasi bermasalah, akan dibaca oleh Freedom House survei sebagai penurunan kualitas demokrasi.

Tapi sebelumnya, pada tahun ini dan tahun sebelumnya secara umum Indonesia masih dianggap khususnya di negara Asia Tenggara sebagai negara yang saat ini menjunjung tinggi sikap demokratis. Filipina mungkin skornya akan turun, karena ada extra judicial killing terhadap bandar narkoba, aksi tembak di jalan yang dilakukan pemerintah yang sedang berkuasa. Jadi mungkin dari situ Freedom House melakukan survei bahwa Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya yang menjunjung sikap demokratis. Memang ada episode-episode di mana mungkin bisa menurunkan skor demokrasi kita.

Hasil lainnya tingkat kebahagiaan era Jokowi–JK naik 2 persen dari 2014 (68,28 persen) sampai 2017 (70,69 persen). Apa anda setuju dengan hasil ini? Bagaimana pandangan Anda sebagai pengamat politik?

Memang dalam tiap survei ditemukan tingkat kebahagiaan masyarakat Indonesia tiga tahun belakangan ini terus meningkat. Bangsa Indonesia tetap optimis dan menurut saya salah satu faktornya adalah kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sangat tinggi. Jadi oke, ada kesulitan, masyarakat kan enggak mengabaikan juga ada kesulitan tapi dia tahu bahwa pemerintahnya bekerja jadi mereka percaya. Jadi karena itu tingkat kepercayaan tinggi, relatif dia bisa menerima bahwa pada akhirnya pembangunan yang sedang dilakukan mungkin akan membawa kesejahteraan buat mereka di kemudian hari.

Saya setuju dengan survei itu, ada banyak survei yang menunjukkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat Indonesia tiga tahun belakangan ini meningkat.

Dengan tingkat kepuasan publik yang terus meningkat, sejalan dengan stigma Jokowi sebagai presiden wong cilik?

Menurut saya ada satu hal yang penting, ini adalah satu catatan penting dari setiap hasil survei terakhir. Bahwa orang menganggap ekonomi enggak berubah, tapi kepuasannya tinggi? Kenapa? Soal kepercayaan? Iya. Yang kedua adalah terdapat pos-pos ekonomi keluarga, yang sekarang tidak perlu dikhawatirkan lagi. Yaitu program kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) misalnya atau subsidi bidang pendidikan.

Itu dua pos di rumah tangga terutama masyarakat Indonesia hal itu adalah yang sangat dikhawatirkan selama ini. Sekarang dia tahu diambil dari dia oleh pemerintah dengan cara membayar iuran setiap bulan, lalu ada subsidi silang bagi dia yang sedang sakit.

Dulu kita tahu banyak orang di daerah yang gak sanggup pergi ke rumah sakit ketika dia sakit. Sekarang ada BPJS, bayangkan cuci darah saja sudah gratis, operasi jantung gratis. Padahal selama ini dia takut jatuh sakit, keadaan ekonomi sudah tidak baik lalu ada keluarga lainnya yang jatuh sakit. Dia bisa bangkrut keluarga itu.

Tapi sekarang, kekhawatiran itu tidak ada, karena mereka menganggap kalau dia sakit ada BPJS. Nah ini salah satu faktor utamanya kepuasan publik meskipun faktor ekonomi mereka tidak berubah. Ada program-program yang menjanjikan kebutuhan utama mereka, kesejahteraan masyarakat Indonesia.

BPJS memang sudah dari zaman Pemerintahan SBY, namun yang mengekspand dan berjalan lebih masif ada di era Pemerintahan Jokowi. Nah, ini kan yang membuat predikat baik pemerintahan Jokowi di mata masyarakat. Anda bayangkan jika ada ekonomi seorang keluarga yang bisa dikatakan kesulitan dia bisa berobat gratis menggunakan BPJS itu. Kita tahu mayoritas ekonomi penduduk Indonesia masih banyak yang kurang mampu.

Adanya fasilitas kesehatan dan pendidikan itu bisa mengambil porsi besar dari dia punya kekhawatiran. Dan ini menurut saya salah satu yang menjelaskan bahwa tingkat kepuasan publik Indonesia meningkat di era Presiden Jokowi-JK.

Awal pemerintahan Jokowi-JK terlihat galak dengan bandar narkoba, dengan hukum mati. Tapi sekarang mulai redup lagi. Anda melihat ini bagaimana?

Yang kemarin dihukum mati itu kebanyakan yang sudah antri hukuman sejak lama. Sebetulnya sudah diputuskan lama tapi tidak dieksekusi. Dan tentu saja jadi kelihatan seolah-olah ada peningkatan hukuman mati.

Kalau menurut saya, pandangan terhadap hukuman mati itu tidak setuju dengan angka hukuman mati itu meningkat di pemerintahan Jokowi. Dari sisi hukum, kalau orang sudah divonis hukuman mati itu lalu ditunda itu menurut saya kekejaman juga, buat keluarga, buat si terpidana. Yang kemudian jika dia ditunda dan pemerintahan lain yang sedang berkuasa jadi beban kepada pemerintah yang kemudian.

Pemerintahan Jokowi dibilang galak dengan penyebar terkait Hatespeech. Banyak pelaku sudah ditahan. Kondisinya dianggap seperti balik ke zaman orba. Apa pandangan Anda terhadap ini?

Persoalannya, Undang-undang yang mengatur hal itu sudah ada, misalnya UU ITE. Kalau misalnya Undang-undang ada lalu ada yang melakukan, Undang-undangnya tidak dijalankan berarti juga akan terlihat sebagai pelemahan tindakan hukum. Ada orang yang bikin hatespeech, sudah jelas masuk kategori hatespeech tapi pemerintah tidak melakukan tindakan padahal sudah ada Undang-undang yang mengatur menetapkan bahwa dengan kategori kesekian dia bisa dikatakan sebagai hatespeech bisa dilakukan tindakan namun tidak dilaksanakan. Law enforcement yang lemah.

Sehingga menurut saya, sepanjang ada due proces of law terhadap orang-orang ini yang dituduh sebagai hatespeech memang secara Undang-undang harus dilaksanakan dengan cara ditindak. Yang menjadi masalah jika tidak ada due proces of law, tapi saya rasa di kasus ini ada due proces of law nya, jadi menurut saya masih bisa dilaksanakan jika dalam batas yang bisa ditoleransi.

Hatespeech ini harus diambil tindakan, karena kalau tidak mereka akan membuat yang lebih parah. Hatespeech itu kan berasal dari intoleran, lalu muncul kekerasan. Jadi itu kan spiralnya begitu prosesnya. Jika lama dia tidak ditindak maka akan lebih parah masalah ke depannya. Selama ada proses hukum yang sudah diatur sah-sah saja jika memang harus segera ditindak.

Banyak kepala daerah tersandung korupsi dan diamankan oleh KPK, penilaian Anda atas masalah ini?

Saya rasa bagus. Sekarang kan sistem pemerintahan daerah di Indonesia ini kan otonomi daerah. Jadi memang sebelumnya KPK banyak menangkap ikan-ikan besar, tokoh partai, kepala daerah, dan lain sebagainya.

Pembangunan adanya itu di daerah, dan para koruptor sekaligus kepala daerah ini menghambat jalannya pembangunan di daerahnya masing-masing. Dan menurut saya, baik yang dilakukan KPK memberi shock kepada kepala daerah yang lain agar tidak melakukan hal yang serupa. Memang menurut saya harusnya seperti itu. Tapi KPK itu kan tidak diperintahkan Jokowi.

Selama 3 tahun ini, Anda melihat Revolusi Mental dan Nawa Cita sudah berjalan sesuai rencana?

Saya enggak tahu jawabnya bagaimana itu. Tapi menurut saya dari yang sudah dilakukan karena soal mentalitas itu setahun-dua tahun itu enggak bisa. Tapi harus lewat edukasi, pendidikan, dan juga seorang teladan yang dijadikan contoh. Tapi saya kira dari berbagai inisiatif, teladan kan bisa mulai diberikan contoh misalnya pejabat tidak perlu birokratis, Pak Jokowi dan Pak JK kalau pergi ke sana ke mari rombongannya simpel. Zaman dulu pejabat melakukan kunjungan bisa membawa puluhan rombongan yang bisa membuat repot tuan rumah yang didatangi itu. Tapi sekarang dibuat simpel, pemimpinnya rileks, kalau perlu terbang naik pesawat ekonomi.

Jadi Pak Jokowi mengubah perilaku bahwa pejabat itu adalah orang yang harus dilayani, dan itu memberi contoh bahwa birokrasi seharusnya melayani. Dan itu saya liat sudah ditularkan kepada pimpinan nasional termasuk kepala daerah juga. Yang melakukan dan mencoba hal yang sama di daerahnya masing-masing.

Kalau kita lihat banyak kepala daerah yang di luar ditangkapin karena kasus korupsi, yang baik juga banyak sekarang. Misalnya, untuk menghindari birokratisasi ada fasilitas e-goverment. Anda mengurus izin online, sudah gak ada lagi 'kongkalikong' mengurus surat tidak harus bayar di kelurahan, kecamatan, dan sebagainya. Itu kan secara tidak langsung mengubah mental, dan hal tersebut juga harus dimulai dari penyelenggara negara. Penyelenggara yang saya maksud bukan hanya Pak Presiden, untuk semua termasuk hingga ke kelurahan.

Yang seperti itu kan sudah banyak. Saya sih optimis bahwa ke depannya setiap kepala daerah yang termasuk penyelenggara negara akan melakukan hal serupa karena ini kan sudah dibanding-bandingkan dengan kebiasaan kepala daerah yang melayani rakyatnya tanpa harus birokrasi yang ribet. Saya optimis hal itu akan menimbulkan sikap positif ke depannya. [ang]


0 Response to " 'PR' Jokowi-JK, membenahi hubungan negara dengan agama"

Posting Komentar