Membangun Tradisi Kampanye Positif





Kehadiran Presiden Jokowi di Nusa Dua pada tanggal 26 September kemarin adalah sebuah harapan sekaligus pertanda baik bagi dunia civitas akademis. Pertemuan itu dihadiri oleh para Pimpinan Perguruan Tinggi se-Indonesia. Mereka semua adalah orang-orang dalam aktivitas kesehariannya bergelut dengan penghetauan, teknologi dan anak-anak muda (mahasiswa). Sebagain dari mereka yang hadir juga banyak dari kalangan-kalangan muda, yang separuh waktunya bergantung dengan kemajuan teknologi.

Tentu kehadiran presiden bukan saja tanpa simbol kenegaraan. Presiden secara tegas dan implisit menekankan bahwa Universitas harus bisa menjadi benteng pertahan terakhir atas adanya serangan ideologi impor. Ideologi yang dilahirkan dalam situasi konflik dan kebencian rasial. Presiden Jokowi berharap universitas sebagai salah satu tempat berkumpulnya para civitas akademik dan tempat dimana terjadinya dialog argumentatif dari perspektif yang saling berbeda. Sebenarnya, dalam kerangka dialogis itulah universitas menjadi benteng sekaligus meriam melawan ideologi anti-Pancasila, anti-NKRI dan ingin merusak Bhineka Tunggal Ika.

Gagasan radikalisme yang kini sudah mulai tumbuh dalam kalangan terbatas, patut dilihat sebagai ancaman. Ancaman ini bukan hanya dilihat sebagai ancaman pemerintahan yang legal Jokowi-JK. Kendati juga ini menjadi ancaman terhadap peradaban dan tatanan budaya Indonesia. Orang-orang ini adalah kelompok yang melakukan segala cara kepicikan unutk meraih apa yang diinginkan. Aksi teror bom, dan produksi sebaran kebencian rasial menjadi strategi utama mereka dalam meneror publik dan melemahkan pemerintahan yang legal pada waktu yang sama. Bisa dimungkinkan juga, mereka adalah sindikat yang saling terkait dengan penyebaran narkoba. Karena itu sangat dimungkinkan mereka hidup beririsan pada lingkaran yang sama. Dan ideologi kerja yang sama pula, pragmatig-destruktif. Mereka adalah orang-orang yang mencari keuntungan dalam sebuah kehancuran tatanan yang sudah berjalan secara baik dan membangun.


Dalam perkembangan kejahatan trans-nasional dikenal istilah narco-terrorism. Ini bukanlah sebuah istilah baru yang muncul dalam kejahatan transnasional, tapi yang perlu kita perhatikan lebih lanjut adalah modus operandinya yang selalu berubah-ubah menyesuaikan zaman dan kepentingan orang dibelakangnya. Narco-terrorism sebagai sebuah kajian kejahatan transnasional selalu memiliki motiv ekonomi-politik. Secara sederhana, peredaran narkoba dan jaringan teror bekerja sama dalam upayanya melakukan pengendalian pemerintahan yang legal, atas kepentingan kejahatan mereka. Dalam beberapa kasus negara berkembang, jaringan kejahatan ini juga erat kaitannya dengan sebuah gerakan politik atau institusi partai politik.

Universitas sebagai salah satu institusi penerus bangsa. Peredaran narkoba juga cukup masiv di dunia kampus, para bandar menyasar para mahasiswa yang bermasalah dengan beban akademik dan problem personalnya. Awalnya bandar menawarkan sesasi kesenangan, hingga akhirnya mereka merekrut para pecandu menjadi kartel perdagangan mereka.

Di sisi yang lain, ada sekelompok orang yang menawarkan sebuah imajinasi kehidupan surgawi dunia akhirat. Orang-orang ini mendekati dengan pendekatan psikologis agama. Membentuk sedemikian rupa kepribadian seseorang dengan ayat-ayat suci. Sehingga seorang muda belia, yang memiliki masa depan lebih baik kelak bisa dijadikan robot untuk mengirim ledakan bom sebagai aksi teror. Dan lagi-lagi praktik-praktik ini kerap terjadi dalam lingkungan universitas. Bahkan kejahatan-kejahatan itu bukan saja terinfiltrasi terhadap mahasiswa tapi juga kepada petinggi universitas.

Narco-terrorism bekerja dalam modus kejahatan seperti diatas. Dua hal itu berjalan seakan pararel tidak bersinggungan satu sama lain. Namun dalam pembongkaran sindikasi, kerap ditemukan ada orang perorang yang beririsan dalam rangka menghubungkan pengedaran narkoba dan aktivitas teror. Universitas selalu menjadi tempat yang nyaman bagi mereka.


Sudah barang pasti, apa yang dikhawatirkan Presiden Jokowi terhadap generasi muda, harus segera diantisipasi. Boleh jadi harapan Presiden Jokowi yang digantungkan kepada intitusi Universitas (Perguruan Tinggi) bukan saja pada menjaga kedaulatan dan ketahanan negara. Pasti ada sisi pengembangan ilmu penghetauan dan teknologi yang juga diselaraskan dengan pola pengembangan dan pembangunan daerah di masa pemerintahan Jokowi. Universitas dikembalikan fungsinya melahirkan cendekiawan bangsa dan insan-insan berbudi luhur pada rakyat dan negara.

Menyebarkan Duta Pemerintah Dengan Kampanye Positif

Ditengah kehadiran Presiden Jokowi di Nusa Dua, menyempil cerita menarik. Seorang wanita bernama Jemima Mulyandari datang menghampiri Presiden Jokowi. Dirinya secara terharu memberikan sebuah berkas dokumen berisi tulisan yang dimenangkan dalam sebuah kompetisi menulis. Kembali saya perhatikan, ternyata Jemima Mulyandari adalah salah satu pemenang karya tulis Keberhasilan Kinerja Presiden Jokowi yang di selenggarakan SEKNAS JOKOWI bersama seword.com.

Jemima adalah salah satu fenomena yang boleh dikatakan adalah duta Presiden Jokowi. Secara latar belakang, Jemima bukanlah orang yang getol didunia politik atau sosok yang sudah malang melintang dalam kerja organisasi kemasyarakatan. Dirinya sehari-hari fokus pada dunia musik. Boleh dikatakan dirinya adalah musisi sekaligus guru bermusik. Justru itu adalah hal yang menarik untuk didorong tetap menjadi Duta Presiden Jokowi. Karena Presiden Jokowi membutuhkan duta-duta yang memiliki latar beragam untuk bisa mengkabarkan berita baik seluas-luasnya dengan bahasa-bahasa yang mudah dipahami rakyat luas.

Cita-cita awal dari terselenggaranya lomba menulis kinerja keberhasilan Presiden Jokowi oleh Seknas Jokowi bersama seword.com adalah upaya menghimpun para penulis-penulis untuk melahirkan sebuah forum. Dan secara natural Jemima sudah memberikan pesan positif kepada publik luas, bahwa merespon berita palsu dan sarat akan kebencian akan lebih elok tetap dihadapi dengan argumen positif dan senyum.

Kita tidak bisa lagi habiskan energi dan pikiran kita untuk membalas berita palsu dan provokatif dengan ketegangan urat saraf. Forum para penulis yang sudah dibentuk oleh Seknas Jokowi dan bersama seword.com menjadi kekayaan modal awal untuk mulai melakukan kampanye positif. Karena dengan begitu publik luas lambat laun bisa memahami kondisi real yang terjadi, dan memahami arah hasutan-hasutan yang bisa merusah persaudaraan bangsa.


Perkembangan teknologi tentu sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi, namun membangun kebajikan dan arif dalam menggunakan media sosial adalah tanggung jawab kita bersama. Maka mari kita dorong bersama-sama rekan sejawat dan saudara handai-taulan untuk lebih bijaksana dalam menggunakan teknologi. Begitupun segenap entitas pendukung Pemerintah agar tidak mudah masuk pada jebakan-jebakan berita palsu yang berujung pada kerugian diri sendiri, serta bisa memperburuk reputasi pemerintahan legal Presiden Jokowi yang dipilih secara langsung oleh rakyat Indonesia. Rakyat yang Merdeka dan Berdaulat!



0 Response to "Membangun Tradisi Kampanye Positif"

Posting Komentar