Pak Jaya Suprana, saya tahu Bapak adalah salah satu orang yang mendukung Anies Baswedan sebagai pemimpin DKI Jakarta. Saya tahu bagaimana Pak Jaya tidak suka dengan Ahok, karena tutur kata, dan surat terbuka yang sudah jelas-jelas menyatakan bahwa Anda berbeda dengan Ahok. Namun izinkan saya untuk meminta Pak Jaya, kalau boleh, Anies juga diberikan sebuah rekor MURI. Mengapa?
Jelas karena di bawah kepemimpinannya yang belum genap setahun, orang ini sudah menunjukkan kehebatannya, yang saya sendiri pun tidak habis pikir. Hujan yang melanda Jakarta hari ini, 11 Desember tergolong cukup deras dan tidak main-main, tetapi hujan tersebut tidak lama.
Paling lama satu jam. Ajaibnya, hujan tersebut bisa menggenangi sebuah tempat yang sudah lama tidak tergenang. Tidak tanggung-tanggung, jalan protokol Rasuna Said – Kuningan, menjadi sebuah tempat yang dilanda.
Biasanya di daerah situ, paling banter hanyalah Kemang, yang memang sulit dibenahi. Seorang avatar air bernama Ahok, selama tiga tahun mampu menahan banjir yang berpotensi menggenangi setiap tempat. Avatar yang tidak menggunakan tenaga dalam, atau apapun, melainkan ia melakukan efektivitas dan efisiensi penggunaan pompa air yang mumpuni.
Teknologi dipakai untuk mengelola banjir. Setiap hujan, pompa siap aktif, dilempar ke tanggul-tanggul yang ada. Hebatnya lagi, Ahok menjadi sebuah ikon kota Jakarta, sebagai tokoh yang bersih, transparan, dan profesional. Di dalam profesionalitas Ahok, ia menjalankan tugas pokok dan fungsinya dengan sangat baik.
Kecerdasan dalam mengelola dan menata kota, menjadi sebuah modal utama yang ia bawa ke pilkada DKI Jakarta. Sayangnya, profesionalitasnya tidak berhasil menarik hati warga. Warga terbuai dengan janji sorga, dengan puluhan bidadari yang siap menyambut mereka.
Ketakutan dibacakan ayat, dan ditakut-takuti dengan tidak mensolatkan mayat, menjadi senjata pamungkas para pendukung untuk mendulang suara. Alhasil, kinerja dibuang jauh-jauh, diganti dengan iman dan taqwa. Alasan apapun sudah tidak didengar.
Hujan sedikit sudah banjir, Jakarta macet, hujan sedikit banjir, KJP macet, APBD untuk rakyat tersendat, warga miskin dibuat pucat, Ibu kota dibuat jadi kota yang penuh sampah, sumpah serapah, yang penting seagama. Inikah yang diinginkan warga Jakarta?
Ya, selamat saja kepada mereka, tidak ada suka, hanya duka nestapa yang merundung warga Jakarta dalam lima tahun alias satu lustrum, mungkin satu dasawarsa alias sepuluh tahun. Inikah yang diinginkan? Jika memang ini yang diinginkan oleh pemimpin DKI Jakarta, sudah barang tentu kota ini akan tenggelam.
Reklamasi dibatasi, pulau-pulau ditahan, hanya untuk sebuah pemikiran pendek. Bagaimana jika permukaan laut semakin tinggi, akibat dari pemanasan global? Maukah kau salahkan Tuhan? Atau salahkan Ahok?
Ahok yang sudah dipenjara, pun masih dimaki-maki oleh pendukung Anies Sandi. Pengacau sejatinya bukanlah Ahok, terdakwa penista agama, melainkan pengacau yang sejatinya adalah orang-orang yang tidak ingin Indonesia berjaya. Ingin memutar balik kemerdekaan negara.
Rasanya, Anies pantas dapat rekor MURI, sebagai pemimpin yang suka bermimpi. Tata kata ternyata lebih seksi dari tata kota. Retorika lebih panas menggelinjang ketimbang kerja nyata. Ahok Djarot diganti oleh Ancur Badut.
Jakarta yang tidak terurus, APBD yang tergerus, tidak membuat rakyat protes. Mengapa? Karena di senjakala Jakarta, kota ini kelak akan menjadi kota yang tidak berbeda dengan kota mati lainnya. Kota yang tenggelam, terlelap dalam tidurnya yang kelam. Tertidur, tak terbangun lagi, inilah kota Jakarta.
Tuhan sudah tidak ada, karena Ia sudah meninggalkan kita. Mengapa Tuhan meninggalkan kita? Jelas karena banyak orang yang menarik Tuhan turun, untuk bermain politik bajingan. Tuhan, dibuat seperti mesin politik. Politik yang ada, menandakan sebuah politik yang titik-titik. Ancur Badut, menjadi penghibur yang juga akan lesu. Kelelahan menghibur warga Jakarta yang sudah kian lesu, Ancur Badut mulai tersenyum simpul. Berikan dia rekor MURI, mungkin itu bisa menghiburnya.
Asal ada piala, apapun pencapaiannya, bahkan pencapaian yang merusak, tetap bisa menjadikan Ancur Badut berbangga diri. Jumawa, tak lagi punya muka. Sombong, seperti juragan penjual kwetiau, begitulah yang terjadi pada orang-orang yang haus kekuasaan.
Pertanyaan saya, mengapa tiba-tiba saya sedang berpuisi? Jelas karena satu hal, Anies tidak becus dalam menjadi pemimpin kota. Jakarta banjir, karena gabener kita hanya bisa menata kata, bukan menata kota.
0 Response to "Belum Sejam Sudah Banjir, Pemprov Tidak Becus, Jakarta Kian Tak Terurus"
Posting Komentar