Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (kedua kiri) berbincang dengan Ketua Umum PPP Djan Faridz (ketiga kiri), Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kriatiyanto (kanan), Sekjen Partai Nasional Demokrat Nining Indra Shaleh (kiri), dan Sekjen Partai Hanura I Gede Pasek (kedua kanan) sebelum melakukan pertemuan partai pendukung Ahok-Djarot di Jakarta, Selasa (7/3). Pertemuan tersebut dalam rangka silaturahmi serta memperkuat dukungan terhadap pasangan Ahok-Djarot pada kampanye Pilkada DKI Jakarta putaran kedua.
Djarot menggunakan rancangan revisi PP 5/2009 dalam perumusan APBD-P 2017 yang disepakati DPRD DKI.
Kenaikan dana bantuan Parpol sempat menjadi polemik lantaran Gubernur Anies Baswedan menuding kenaikan dalam APBD itu merujuk ke APBD-P yang diteken zaman Djarot Saiful Hidayat.
tirto.id - Dana bantuan partai politik (parpol) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta disorot banyak pihak. Anggarannya mencapai miliaran rupiah. Kenaikan dana bantuan tersebut sempat menjadi polemik lantaran Gubernur Anies Baswedan menuding kenaikan dalam APBD itu merujuk ke APBD-P yang diteken zaman Djarot Saiful Hidayat.
Anies melandaskan pada rumusan dana bantuan parpol dalam APBD 2018 yang merujuk dana serupa dalam APBD-P 2017. Kenaikan besaran dana bantuan parpol dari Rp410 per suara menjadi Rp4 ribu per suara ini ternyata tidak memiliki dasar acuan hukum.
Menurut Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) DKI Jakarta Darwis Muhammad Aji, pencantuman dana bantuan parpol dilakukan berdasarkan Rancangan Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik.
Penggunaan dasar rancangan revisi PP ini muncul saat Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) menggelar rapat bersama Badan Anggaran DPRD. Darwis menerangkan, TAPD DKI kala itu mengusulkan dana bantuan parpol sebesar Rp410 per suara dengan merujuk Keputusan Gubernur Nomor 614 Tahun 2016 yang dikeluarkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PP Nomor 5 tahun 2009.
Darwis menjelaskan, PP Nomor 5/2009 masih digunakan lantaran revisi PP belum diketok. “[Kenaikan dana parpol itu] kami keluarkan apabila PP yang baru sudah turun. Jadi karena PP belum turun, ya, uang itu juga tidak kami bayar,” ujar Darwis kepada Tirto, Kamis (14/12/2017).
Angka besaran tersebut lolos dalam pembahasan APBD-P di DPRD DKI Jakarta, September silam. DPRD kemudian menyepakati APBD-P tersebut, meski salah satu komponen mata anggarannya tak memiliki acuan hukum. Kesepakatan itu kemudian dituangkan dalam Perda Nomor 5 Tahun 2017 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2017 yang ditandatangani Djarot Saiful Hidayat pada 13 Oktober 2017.
Rencana Revisi PP tak Bisa jadi AcuanAnggaran ini kemudian dibawa ke Kementerian Dalam Negeri untuk dievaluasi selama dua pekan. Pelaksana tugas Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri Syafrudin mengaku sempat memberi catatan dalam evaluasi tersebut. Kemendagri meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengevaluasi APBD-P 2017 dengan menjadikan PP 5/2009 sebagai pedoman.
“Dalam hal ini tidak diperkenankan untuk dinaikkan,” kata Syafrudin kepada Tirto.
Seteleh evaluasi APBD-P, Pemerintah Provinsi DKI yang saat ini dipimpin Gubernur Anies Baswedan mengajukan APBD 2018 yang sudah disepakati pertengahan November 2017. APBD 2018 ini kemudian dievaluasi Kemendagri.
Saat evaluasi ini, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Sumarsono menyoroti kembali besaran dana bantuan parpol yang kembali dituliskan seperti dalam APBD-P 2017. Sumarsono menyebut, angka yang dituliskan untuk bantuan parpol tersebut berlebihan.
Poin ini juga yang disoroti Syafrudin. Ia bilang, kenaikan tersebut tak bisa dilakukan lantaran PP Nomor 5 Tahun 2009 belum diubah, sedangkan draf revisi PP yang memasukkan rencana pemerintah untuk menaikkan dana bantuan parpol dari Rp108 per suara menjadi seribu rupiah per suara masih dipelajari di Sekretariat Negara.
“Dengan begitu, kalau dasarnya PP Nomor 5 Tahun 2009 berarti masih angka kemarin yang Rp410,” kata Syafrudin.
Setelah disoroti Sumarsono dan Syafrudin, Anies mejelaskan dirinya hanya mengikuti ketentuan yang ditetapkan pemerintahan Djarot terkait dana bantuan parpol. Dalam hal ini, Djarot menggunakan rancangan revisi PP 5/2009 dalam perumusan APBD-P 2017 yang kemudian disepakati DPRD DKI Jakarta.
Pemprov DKI dan Evaluator Sama-Sama KeliruPenggunaan rancangan ini berpotensi menjadi masalah hukum. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Budget Centre (IBC) Roy Salam, rancangan revisi sebuah PP tak bisa dijadikan acuan menyusun APBD. Kenaikan dana bantuan parpol atas dasar rancangan revisi PP disebut melanggar asas dan prinsip penyusunan APBD.
“Itu ngawur namanya. Ini cacat. Makanya di satu sisi Pemprov DKI tentu keliru, yang mengevaluasi juga keliru,” ujar Roy kepada Tirto.
Dalam konteks penyusunan dana bantuan parpol dalam APBD-P 2017 dan APBD 2018, Roy menyebut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggunakan landasan hukum. Kedua anggaran tersebut, kata Roy, semestinya tetap menggunakan PP 5/2009 yang hingga kini belum direvisi.
“Masih rancangan belum ada keputusan dari Presiden. Namanya baru draf, itu yang tidak bisa jadi dasar atau alas untuk menyusun atau menaikkan bantuan parpol. Jadi kenaikan dana parpol ini tidak punya dasar hukum kecuali PP sudah keluar, ada nomornya, ada tanda tangan Presiden,” kata Roy.
Roy menyebut, anggaran bantuan parpol yang membengkak dari Rp1.818.003.960 menjadi Rp17.736.624.000 sebagai mark-up dana bantuan parpol. “Bisa kita sebut ada mark-up dana banpol,” kata Roy menegaskan.
Siapa yang Salah dan Harus Dipidana?Meski kenaikan ini tak punya dasar acuan hukum dan sudah dievaluasi Kemendagri, Wakil Ketua Fraksi PDIP di DPRD DKI Jakarta Pantas Nainggolan menyebut kenaikan dana bantuan parpol merupakan kewajaran. Ia bilang, peningkatan jumlah bantuan dibutuhkan karena parpol memiliki tugas melahirkan calon-calon pemimpin baru.
Pantas malah menyalahkan Anies-Sandi terkait polemik kenaikan dana tersebut dan enggan menyalahkan kolega separtainya, Djarot Saiful Hidayat. Ia menyebut, dana bantuan parpol dalam APBD-P 2017 yang diteken Djarot sudah tetap dan tak perlu dipersoalkan meski tak punya dasar acuan hukum.
“Kan yang dipersoalkan dalam APBD 2018. Nah, APBD 2018 itu sepenuhnya hasil pembicaraan Pak Anies-Sandi,” ujar Pantas.
Kepala Biro Hukum Kemendagri Widodo Sigit Pudjianto sependapat dengan Roy Salam. Sigit menyebut, setiap penyusunan APBD dan perubahannya juga harus mengacu pada Peraturan Mendagri, dalam hal ini Permendagri Nomor 33 Tahun 2017.
Tak hanya itu, Sigit bilang perubahan APBD selain harus berlandaskan hukum juga perlu taat pada asas-asas umum yang bisa diterima akal sehat publik. Ia menjelaskan, Kemendagri selalu menyerahkan setiap dokumen perubahan dan penyusunan APBD ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Langkah ini diambil sebagai mekanisme pencegahan korupsi dapat berjalan maksimal.
“Harapannya KPK bisa membaca, jadi kalau ada apa-apa membantunya di situ,” katanya.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengaku akan mempelajari terlebih dahulu potensi korupsi dalam kenaikan dana bantuan parpol dalam APBD-P DKI 2017 dan APBD 2018. Saut bilang, KPK tak mau buru-buru dan baru bertindak jika memang menemukan fakta yang tidak beres dalam tata kelola tersebut.
“Kami lihat dulu tata kelolanya seperti apa, apakah ada gap dari yang seharusnya,” kata Saut.
0 Response to "Potensi Pidana dalam Kenaikan Dana Parpol dalam APBD DKI"
Posting Komentar