Menjadi seorang kepala negara adalah hal yang serba salah. Setiap perilaku mereka akan disorot oleh media. Belum lagi sifat masyarakat Indonesia terutama warganet yang kepo dan tukang nyinyir. Maka dari itu, menjadi seorang kepala negara di negeri berpenduduk terbesar keempat di dunia ini tidaklah mudah.
Hal itu berlaku kepada Jokowi yang menjadi kepala negara sejak tahun 2014. Jokowi terpilih karena mayoritas masyarakat mengkehendaki beliau untuk menjadi orang nomor satu di negeri multikultural ini. Jokowi terpilih karena perilakunya yang sederhana, bersahaja, dan merangkul masyarakat kecil, sehingga masyarakat tidak ragu untuk menjatuhkan pilihannya kepada Jokowi.
Namun kali ini saya tidak akan menyoroti mereka yang memilih dan mendukung Jokowi karena saya yakin mereka sudah benar-benar yakin bahwa Jokowi memang begitu orangnya. Saya ingin menyoroti mereka yang sejak 2014 sampai detik ini masih gagal move on karena jagoannya gagal menang. Sebenarnya mereka berhasil menang, tapi itu hanya versi hitung cepat di stasiun televisi yang lain daripada yang lain. Mereka terkena sindrom gagal move on, bahkan sampai detik ini.
Menurut mereka, apa yang dilakukan Jokowi sama sekali tidak ada yang benar. Apa yang dilakukan Jokowi selalu salah di mata mereka. Saat ada kejadian ataupun hal yang dirasa kurang baik, maka langkah pertama yang dilakukan adalah menyalahkan Jokowi. Setelah menyalahkan Jokowi, langkah kedua yang dilakukan adalah mengkritik apa yang dilakukan Jokowi. Kritik itu sebenarnya bagus, tapi sayang kritik yang mereka lakukan tidak disertai solusi sehingga apa yang dilakukan Jokowi hanyalah nyinyir semata, persis seperti kelakuan mayoritas warganet kita ketika menyikapi sesuatu.
Perihal kesederhanaan Jokowi, mereka selalu mengatakan bahwa apa yang dilakukan Jokowi hanyalah pencitraan mereka. Saat Jokowi melakukan atraksi sulap depan anak-anak pada Hari Anak Nasional, mereka bilang itu pencitraan. Saat Jokowi memelihara kambing di Istana Negara, mereka juga bilang itu hanya pencitraan. Saat Jokowi memakai sendal jepit sambil memancing pun mereka bilang pencitraan.
Apa yang dilakukan Jokowi semuanya pencitraan, bahkan apa yang dilakukan anaknya juga pencitraan. Gibran jualan martabak, dibilang pencitraan. Kaesang jadi youtuber mereka bilang pencitraan. Kaesang kolaborasi sama Chandra Liouw dan Reza “Arap” Oktavian, itu juga mereka bilang pencitraan. Bahkan Gibran yang hanya sendirian naik pesawat dari Solo ke Surabaya juga dibilang pencitraan. Semua aktivitas keluarga Jokowi tidak ada yang lepas dari kata pencitraan.
Pun begitu juga dengan setiap pernyataan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Jokowi. Setiap ada aksi nyata Jokowi dalam menyikapi sebuah isu mereka bilang hanya pencitraan. Tapi ketika Jokowi diam saja tidak melakukan apa-apa, mereka bilang Presiden tidak peka dan tidak peduli terhadap persoalan. Padahal sebagai kepala negara dia seharusnya mengambil porsi paling besar dalam keputusan. Ingin ku berkata kasar, tapi takut dosa.
Yang anehnya, mereka langsung mencak-mencak dan mengkritik Jokowi tidak sederhana setelah Jokowi kedapatan memakai sneakers yang harganya jutaan rupiah. Mereka juga mencak-mencak kepada Jokowi saat Jokowi menyelenggarakan pesta pernikahan anaknya dengan mengundang relawan-relawan. Tapi memang hati dan otak sudah dipenuhi kebencian semua yang dilihat selalu buruk meskipun itu sangat baik.
Menjadi seorang Jokowi adalah hal yang serba salah. Mengapa? Karena saat ia bertindak selalu saja salah di mata mereka. Jokowi mencerminkan kesederhanaannya mereka bilang pencitraan. Jokowi memakai barang yang sedikit mahal, mereka bilang pemborosan tidak mencerminkan kesederhanaan.
Memang sulit menjadi Jokowi, karena beliau sudah mengalahkan seorang jenderal yang sudah berambisi selama belasan tahun. Sehingga ketika sang jenderal tersebut ingin kembali mencapai ambisinya, dia menjatuhkan Jokowi dengan segala cara. Tujuannya satu, dia memenangkan pertarungan yang akan digelar dua tahun lagi.
Padahal saya yakin apa yang ditunjukkan Jokowi memang sifat aslinya. Kesederhanaan yang dia miliki memanglah kesederhaan yang natural dan tanpa dibuat-buat. Lihat saja apa yang dikerjakan anaknya untuk melihat nyata atau tidaknya kesederhanaan Jokowi. Jokowi yang mempunyai tiga orang anak, jelas sederhana karena ketiga anaknya tidak mengikuti jejak ayahnya sebagai politisi.
Anak sulung, Gibran Rakabuming seharusnya mengikuti jejak anak-anak Presiden terdahulu yang menjadi politisi. Gibran malah berjualan martabak dengan merek Markobar. Bahkan sebelumnya Gibran sudah punya usaha catering di Solo yang ia beri nama Chili Pari. Lah iki piye toh? Anak Presiden itu bukannya minta proyek sama bapaknya, malah jualan martabak.
Anak bungsunya juga hampir sama dengan kakaknya. Kaesang Pangarep yang saat ini sedang menempuh pendidikan di Singapura sama sekali tidak mengikuti jejak bapaknya sebagai politisi. Kaesang malah menjadi youtuber sambil berjualan kaos kecebong. Ini maksudnya apa? Oh iya, jangan lupa subscribe YouTube channelnya Kaesang yah.
Jokowi sebagai orang tua ingin agar anaknya menjalani apa yang dicita-citakannya. Jokowi tidak memaksa anaknya untuk mengikuti jejak ayahnya sebagai politisi. Bahkan Jokowi tidak memaksa Gibran untuk menutup Markobarnya demi maju sebagai calon gubernur ataupun calon walikota dan bupati. Jokowi tidak melakukan itu semua karena ia tahu itu sama dengan menghancurkan masa depan anaknya. Jokowi lebih senang jika anaknya mengerjakan apa yang disukainya. Itulah kesederhanaan yang sebenarnya.
Tapi mengapa masih saja ada yang nyinyir dan bilang itu semua hanya pencitraan? Entahlah mungkin kebencian sudah merasuk ke dalam hatinya.
0 Response to "Serba Salahnya Menjadi Seorang Jokowi"
Posting Komentar