seword.com- Kita mungkin pernah bercanda tentang kasus pemecatan atau dikeluarkan. Misal, kita dipecat dari sebuah kantor. Lalu saat ngobrol-ngobrol dengan teman, kadang kita mengatakan bahwa sebenarnya kitalah yang memecat kantor tersebut. Atau mungkin ada yang pernah dengar lawakan dari Andre Taulani, saat ditanya mengapa keluar dari Stinky? Jawabannya greget, “Lho malah saya yang mengeluarkan mereka dari Stinky.”
Bagaimanapun cerita-cerita itu hanyalah cerita humor yang cukup imajinatif. Kita tidak pernah berpikir serius akan hal itu.
Tapi di Indonesia sekarang, cerita humor tersebut rupanya benar-benar ada di kenyataan. Ada sebuah partai namanya PKS, memecat kadernya bernama Fahri. Seharusnya dengan pemecatan tersebut secara otomatis posisi Fahri sebagai pimpinan DPR bisa digantikan oleh kader PKS yang lain, sesuai keputusan partai. namun kenyataannya, PKS dituntut ke pengadilan. PKS akhirnya dijatuhi hukuman membayar gugatan sebesar 30 miliar rupiah. Denda ini dijatuhkan ke PKS karena majelis hakim menilai Fahri mengalami tekanan psikologis akibat pemecatan tersebut.
PKS sebagai sebuah partai tak berdaya menghadapi seorang Fahri. Bahkan PKS tidak bisa mengajukan pergantian kader sebagai pimpinan DPR sebab mereka tidak ingin Fahri di posisi itu.
Sampai di sini saya bingung. Apakah harus tertawa melihat ketidak berdayaan partai dakwah nomer satu yang pernah berhasil mengantarkan pimpinan partainya ke penjara. Atau marah melihat Fahri yang bisa menang melawan sebuah partai politik yang dinaunginya.
Ini benar-benar tidak masuk akal. Ibarat kita punya sebuah perusahaan, kemudian memecat salah satu karyawan karena alasan tidak perform ataupun kerap melanggar aturan kantor. Tapi kemudian kantor kita itu dituntut membayar 30 milyar dan pengadilan memaksa karyawan yang sudah dipecat itu untuk tetap bekerja di kantor kita.
Mungkin contoh di atas kurang cocok. Partai kan beda dengan perusahaan? Ya memang beda. Anggaplah Fahri punya hak dan memungkinkan untuk melakukan itu. Tapi perlu diingat, PKS adalah partai politik yang juga punya hak untuk mengganti kadernya di kursi pimpinan DPR. Punya hak memecat. Lalu mengapa hak-hak tersebut tidak bisa mereka pergunakan? Apa yang salah dalam sistem perpolitikan kita?
PKS sebagai partai yang sudah beberapa kali ikut dalam pagelaran pemilu, seharusnya mudah saja dalam memecat Fahri. Bisa kapan saja mengganti posisi pimpinan DPR yang diisi Fahri, dengan atau tanpa alasan yang jelas. Tapi mengapa PKS seolah tidak berdaya? Ada dua kemungkinan.
Pertama, internal PKS terpecah atau terbelah dua kubu. Yakni kubu mantan pimpinan PKS dan pimpinan PKS sekarang, kubu Sohibul Iman. Dan Fahri ada di kubu mantan, yang sudah lengser tapi masih menyisakan orang-orang loyal di dalamnya. Sehingga saat ada keputusan memecat Fahri dari PKS, kubu mantan bergerak menggalang dukungan, memastikan internal PKS tidak solid menerima keputusan pemecatan Fahri.
Kedua, Fahri memiliki kekuatan politik dari luar PKS yang mendukung paket pimpinan DPR. Sebab sepintas memang hanya ada dua ganda pria di pimpinan DPR, Fadli dan Fahri. Sementara Setnov sang pimpinan itu sudah pernah gantian dengan kader Golkar yang lain. Dan pimpinan yang lain tidak terlalu vokal, tidak terlalu punya pengaruh terhadap perpolitikan Indonesia, atau mungkin juga tidak loyal terhadap paket pimpinan DPR dari hasil MD3.
Dari kacamata rakyat awam, saya meragukan kemungkinan yang pertama. Sebab sekuat-kuatnya kubu mantan pimpinan PKS, tetap saja yang punya kuasa dan legalitas memimpin adalah Sohibul Iman. Penunjukan calon kepala daerah sampai memutuskan calon Presiden nanti sepenuhnya ada di pimpinan PKS, bukan mantan. Sehingga dengan semua kekuatan yang ada, Sohibul Iman bisa mengatur ritme internal politik partai.
Kalaupun PKS terbelah dua kubu, tetap saja sebagai partai, PKS punya hak untuk mengajukan pergantian Fahri di kursi pimpinan DPR. Masalahnya adalah, ajuan pergantian tersebut seperti tidak pernah ditanggapi oleh DPR. Aneh kan? Sementara Fahri tetap paten sebagai pimpinan DPR permanen bersama Fadli Zon.
Saya melihat bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah hasil dari sebuah kesempatan yang kita berikan kepada kelompok yang salah. Sehingga membuat sistem bisa diatur-atur sesukanya. Dulu kita bisa melihat partai pemenang pemilu secara otomatis menjadi pimpinan DPR. Tapi karena sebuah koalisi permanen yang terstruktur, sistematis dan massif, akhirnya mereka bersatu dan membuat undang-undang baru, UUMD3. Pimpinan DPR dipilih berdasarkan paket koalisi. Ya jelas mereka yang menang, sebab lebih banyak partai yang berkoalisi dengan mereka sekalipun mereka tidak menang pemilu.
Buruknya, kini kita jadi tahu bahwa jika mereka diberi kekuasaan, mereka akan melakukan segala-galanya untuk mempertahankan kekuasaan yang terlanjur kita berikan tersebut. Ini bukan menakut-nakuti, ini fakta yang bisa kita lihat bersama-sama sekarang. Lihatlah seorang Fahri, kader PKS yang sudah dipecat, tidak otomatis melengserkannya dari pimpinan DPR. Lihatlah Setnov, yang meski sudah ditahan oleh KPK, tidak secara otomatis melengserkannya dari kursi pimpinan DPR. Ini semua adalah fakta sejarah, sebuah bukti kongkrit dari keserakahan sekelompok partai yang melakukan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya.
Jelang 2019 nanti, catatan ini menjadi penting untuk kita hayati dan renungkan. Apakah nantinya kita akan memilih Calon Presiden dari kelompok orang yang berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara? Ataukah kita akan memilih Calon Presdien dari kelompok yang nasionalis dan mementingkan kemajuan Indonesia? jika kita ingin sistem demokrasi di Indonesia ini berjalan dengan baik ke depan, sudah seharusnya kita menjauhi sekelompok orang yang sekarang sedang mempertahankan jabatannya dengan segala cara. Sebab kalau mereka yang kita pilih, bukan tidak mungkin akan muncul kembali Presdien 32 tahun seperti sebelumnya. Begitulah kura-kura.
0 Response to "Fahri Lebih Sakti dari Setnov"
Posting Komentar