TANPA AHOK, JAKARTA BERDISKUSI DENGAN PREMAN






Dulu, saat Ahok jadi Gubernur, kita selalu menunggu dan penasaran terobosan apa lagi yang akan dia lakukan. DPRD mana lagi yang mau dia omeli “pemahaman nenek lu!” dan kalimat-kalimat menantang lainnya. Ahok begitu keras dan tegas terhadap siapapun, terutama pada koruptor dan preman. Selalu berpikir logis dan cepat. Sedikit saja ada celah kesalahan pada orang yang dihadapinya, langsung dia marahi.

Saya sebagai warga biasa selalu kagum dan salut dengan apa yang dilakukan Ahok. rasanya bangga sekali ketika ada Gubernur yang berani menantang orang-orang di DPRD karena berupaya melakukan penganggaran yang tidak penting. Bangga karena Jakarta perlahan berbenah, pembangunan dilakukan secara massif, siang malam.

Setiap ditanya wartawan atau siapapun terkait permasalahan Jakarta, seingat saya tidak pernah Ahok menjawab normatif dan muter-muter yang membuat kita bingung. Selalu ada rencana atau solusi yang sedang Pemprov kerjakan. Jawaban-jawaban Ahok selalu sesuai dengan fakta di lapangan. Maksudnya kalau memang mau menggusur, dia jujur saja mau menggusur. Kalau memang rumah susun, ya dibilanglah rumah susun. Tidak perlu istilah baru semisal rumah berlapis vertikal syariah dunia akhirat.

Meskipun tegas dan suka marah-marah, sebenarnya Ahok adalah sosok yang telaten. Bagaimana tidak, setiap hari dia temui warga yang mau mengeluh ke Balaikota. Dari mulai keluhan jalan rusak, anak sakit, sampai sekedar ajakan berfoto bareng. Sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh Gubernur lain kecuali Jokowi dan Djarot. Sepele memang, tapi yang lain mampu? Nggak kan.

Selain itu Ahok juga beberapa kali melucu. Salah satu ceritanya yang paling viral adalah saat dia tiba-tiba lari ke bawah sungai gara-gara ada Walikota datang. Lari bersama pejabat dan warga setempat. Setelah Pak Walikota menyapa dan melapor, barulah Ahok sadar kalau dirinya adalah Wakil Gubernur. Haha

Setelah Ahok dipenjara, ruang berita di media-media kita rupanya menjadi lebih lucu lagi. dan saya pikir warga Jakarta semakin hari semakin bahagia karena kerap dipertontonkan pernyataan, sikap dan jawaban-jawaban lucu dari pemimpin mereka. Meski memang kebalikannya dari Ahok.

Beberapa hari yang lalu Sandiaga sempat dimarah-marahi oleh ojek pangkalan karena berolahraga lari di kawasan pasar Tanah Abang. Mungkin karena saking kesalnya, Sandiaga sempat menyebut insiden tersebut adalah penghinaan kepada kepala negara. Belakangan dia menyadari bahwa itu salah ucap, maksudnya pejabat negara.

Mau tau bagian lucunya? Haha saat sandiaga dimarahi oleh ojek pangkalan, bukannya berhenti dan bertanya kenapa dirinya dimarahi, tetapi malah tetap lanjut berlari lalu cerita ke wartawan. Jujur, setelah baca berita itu saya jadi teringat masa-masa SD. Sebagian anak-anak yang kalau diganggu oleh temannya, ujung-ujungnya ngadu ke orang tuanya. Hahaha

Kalau Ahok beda. Pernah juga dia diteriaki oleh mahasiswa, dikritik macam-macam. Lalu Ahok datang dan menjawab kritikan-kritikan mahasiswa tersebut, sampai si mahasiswa mingkem nggak bisa jawab lagi.

Selain itu Sandiaga juga sempat mengatakan bahwa dirinya mengajak preman-preman Tanah Abang untuk duduk berdiskusi untuk menertibkan pasar Tanah Abang. “ini konsep mereka juga. Terlibat. Mereka semua masuk dalam diskusi ini. termasuk, mohon maaf, preman-premannya.”



Namun setelah Ahok dipenjara, pasar Tanah Abang kembali semraut. Pedagang kaki lima dan parkir liar kembali terjadi. Kemenangan Anies Sandi seolah-olah kemenangan bagi mereka untuk mengambil hak berdagang dan parkir liar di kawasan pedestrian.

Mau tau bagian lucunya? Saat pasar Tanah Abang kembali macet dan semraut, datanglah seorang Wagubernur Jakarta ke kawasan tersebut, mengajak preman-preman untuk berdiskusi guna menata PKL, parkir liar dan kesemrautan Tanah Abang secara keseluruhan.

Entah kenapa saya jadi teringat dengan pidato Gubernur Jakarta, Anies. “dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri.” hahahaha

Bayangkan, Jakarta zaman now pimpinannya mengajak preman berdiskusi untuk menata kota. Bukankah ini penghinaan luar biasa terhadap undang-undang dan kemerdekaan kita? 72 tahun negeri ini merdeka, tidak sedikitpun ada alasan bagi negara untuk bernegosiasi dengan preman. Kita sepakat bahwa preman itu tidak boleh diberi ruang atau peluang untuk mengatur-ngatur negara, atau memeras dan meminta bayaran kepada negara. Tidak ada. Kita tidak bernegosiasi dengan preman, seperti halnya kita tidak bernegosiasi dengan teroris.

Negara ini memiliki TNI untuk mengamankan wilayah NKRI. Memiliki Polri untuk menegakkan hukum dan memberantas segala aktifitas kriminal atau tindak kejahatan. Jadi kalau kemudian pejabat negara mengajak preman untuk berdiskusi menata kota, bagi saya ini penghinaan luar biasa terhadap TNI dan Polri. Kita ini melawan kejahatan, bahkan Polri punya tagline “turn back crime.” Jadi tidak seharusnya para pelaku kejahatan yang melakukan pemerasan pada kelompok masyarakat ditemui oleh Wagubernur, terlebih diajak berdiskusi untuk menata kota.

Ah lagi-lagi saya teringat Ahok. Gubernur yang tak seiman dengan saya itu rasanya lebih paham tentang menghargai sebuah institusi negara, menghargai arti kemerdekaan dan berdaulat. Sehingga untuk menata dan merapikan Tanah Abang, dia tidak perlu bernegosiasi dengan preman. Dia hadapi sendiri dengan sebuah kebijakan-kebijakan.

Dan kalaupun Ahok mendapat tekanan dari preman, misalnya dalam proses penggusuran lokaliasi Kalijodo, Ahok tidak datang dan bernegosiasi dengan preman. Tidak sama sekali. Sebagai Gubernur dia ajak Polri dan TNI untuk mengamankan dan mengawal proses penggusuran agar tidak terjadi bentrok atau kerusuhan. Karena sekali lagi, negara ini tidak boleh tunduk pada preman. Kita tidak bernegosiasi dengan preman.

Sampai di sini saya jadi teringat dengan sabda Baginda Rasulullah: “Jika suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.”

0 Response to "TANPA AHOK, JAKARTA BERDISKUSI DENGAN PREMAN"

Posting Komentar