seword.com- Ahmad Dhani tersangka. Top. Heboh di dunia maya dan medsos. Hiburan diberikan sebagai rangkaian pesta politik para bandit dan badut politik. Ahokers dan Jokowers pun terkecoh mati-matian. Kalah lah total. Tanpa sisa. Strategi media dan pengaturan intelejen bermain tanpa kontrol semestinya. Hingga berbagai kasus saling menutup. Cerdas mereka sekaligus membuka aib kita aib kaum waras yang tertipu strategi media dan medsos.
Berdesir dulu ketika Ahok dikriminalisasi. Kaget Indonesia dan Dunia melihat minoritas Kristen, Tionghoa, non parpol dikriminalisasi oleh Islam radikal karena 1) mencintai rakyat, 2) menutup sarang narkoba para mafia, 3) menghajar koruptor, 4) melawan politikus semprul, 5) mencintai NKRI dan Pancasila.
Silent majority seolah bangkit, bersatu. Sayang rongrongan kaum PKS dan PK serta para gerakan klandestin Islam radikal lebih kuat dibandingkan kelompok serabutan seporadis egosi pendukung dan relawan Jokowi dan Ahok. Maka relawan pun terpecah-belah dan diadu domba – dengan imingan rupiah dan kehormatan palsu.
Guliran informasi dan propaganda pun terus bergulir. Strategi media dan komunikasi digeber. Para ahli berlomba berbicara di medsos. Bersahutan tanpa henti meneriakkan yang pas dan yang kurang pas. Berdebat semalam suntuk seperti pagelaran wayang kulit.
Masing-masing memegang yang benar dan yang hebat versi mereka. Persis ibarat 10 orang buta memegang 10 sepuluh bagian tubuh gajah, dan itu yang diyakini tanpa pernah melihat gajah secara keseluruhan.
Di luaran bergulir yang nyata dan faktual. Dua kutub politik bergerak terus. Pendukung Jokowi dan anti Jokowi tetap berkibar-kibar. Publik dipertontonkan realita politik yang sesungguhnya, bukan pertemuan, bukan demo, namun pengaturan pembunuhan kekuatan melalui dua cara: hukum dan politik. Lebih tepatnya pertarungan politik-hukum dan hukum-politik.
Jokowi yang nekad tetap menghantam Islam radikal mendapatkan perlawanan sengit. UU Ormas, UU anti Teroris, UU Pilpres mendapat perlawanan nyata dari para partai – yang merasa memiliki kekuatan hebat. Padahal, ketika ketiga hal di atas rontok maka habislah Jokowi, habislah kisah Ahokers, mampuslah sejarah Jokowers dan matilah NKRI dengan Pancasila-nya.
Tak ayal pengecohan strategi komunikasi dipaparkan – dengan keculunan meniru zaman eyang saya Presiden Soeharto. Kamuflase hiburan hukum dan politik yang merayu dan menghibur Jokowi pun dipaparkan – dan rakyat melihatnya sebagai kemenangan Jokowi. Kecohan ini mengenai dan mengharu-biru dan dianggap sebagai kekuatan Jokowi. Pemataan Jokowi. Padahal ini counter attack jebakan komunikasi dan strategi pamer kekuatan proxy yang luar biasa.
Perhatikan. Rizieq FPI tersangka kasus chat mesum bersama Firza Husein tetap merdeka. Dia bebas menjadi pembicara tanpa bisa dihentikan oleh Polri pidato dari Arab Saudi mengipasi gerakan kupret demo-demo.
Para tersangka makar tidak dilanjutkan. Yang disebut Bos dan Bendahara Saracen Eggy Sudjana tetap merdeka. Bakhtiar Nasir tetap merdeka. Kasus Gatot Khattath tetap dipetieskan. Novel Bamukmin dan Munarman FPI tetap bergerilya ke mana pun. HTI berganti baju.
Kasus hukum dimainkan di KPK. Kejaksaan Agung dan Polri bersitengang usulan hebat Densus Anti Korupsi. Presiden Jokowi tertekan dan back-off soal ini. Mundur kecut bersama Kapolri akibat perlawanan hebat para mafia, koruptor, dan politikus semprul dan teroris yang bersatu padu. Kenapa? Densus yang merangsek korupsi di bawah Rp 1 milliar – yang menjadi mainan di seluruh Indonesia – ancaman serius budaya korupsi.
RJ Lino lolos. Hadi Poernomo lepas. Boediono masih bernapas bebas. Korupsi pertambangan yang nilainya tiga kali lipat dari E-KTP tetap tidak disidik KPK – meski yang bermain para orang tidak terkenal namun ada keterlibatan mafia dan kroni yang menjadi back-up di belakang mereka. Maka hiburan penghukuman dan pembuangan terhadap Setya Novanto menjadi santapan analisis.
Belum cukup, mereka menyebarkan strategi lagi dengan Anies dan Sandi disuruh konyol. Energi dan tenaga tercurah. Jokowers dan Ahokers berasa menang dan senang menguliti tanpa henti. Namun, di balik itu gerakan para pembenci Ahok dan Jokowi dan NKRI dan Pancasila terus bergerak strategis.
Masjid-masjid, majelis taklim, sekolah-sekolah, kampus-kampus, mushola, rohis, ormas underbow parpol pendukung Islam radikal terus bergerak menghentak mengampanyekan asal bukan Jokowi. Persis sama dengan Asal bukan Ahok selama 2 tahun menjelang kekalahan Ahok – meski elektabilitas Ahok 63%.
Ahok keok. Kalah. Kenapa? Karena Ahokers dan Jokowers mabuk imajinasi seolah menang di media sosial dan media mainstream – dan melupakan gerakan nyata berbuat nyata di alam nyata, di Bumi, membumi. Hanya dengan hiburan Ahmad Dhani menjadi tersangka pun semua masalah dilupakan esensinya.
Jokowers dan Ahokers dan pencinta NKRI dan Pancasila dininabobokkan – apalagi UKP Pancasila sama sekali belum cukup bergerak setrategis. Jokowi, Jokowers, Ahokers tidur menikmati mimpi hanya hiburan tersangka Ahmad Dhani yang tidak bermanfaat secara strategi politik pemenangan Jokowi 2019. Ahmad Dhani hanyalah rongsokan politik yang tak penting sama sekali. Tanpa Demikina the Operators. Salam bahagia ala saya.
0 Response to "AHMAD DHANI TERSANGKA, KEKONYOLAN ANIES-SANDI, JOKOWERS-AHOKERS TERTIPU"
Posting Komentar